Selasa, 24 Mei 2011

Otonomi Daerah di Indonesia

OTONOMI DAERAH DI INDONESIA
Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
1. Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
2. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II) dengan beberapa dasar pertimbangan
1. Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
2. Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;
3. Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
1. Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
2. Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
3. Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju
Aturan Perundang-undangan
Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:
1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
3. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
5. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
6. Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
7. Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Masa Orde Baru
Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.[4] Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[5]
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
1. Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya[
2. Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah dan
3. Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Propinsi) maupun Dati II (Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri, untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya, dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.
Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan penyelidikan), dan kewajiban seperti a) mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945; b)menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan d) memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah.
Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi (baca: kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat.
Pelaksanaan Otonomi Daerah setelah Masa Orde Baru
Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu
1. melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;
2. pembentukan negara federal; atau
3. membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.
Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain :
1. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.
2. Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.
3. Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
4. Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
5. Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
6. Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
7. Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut propinsi.[15]
8. Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
9. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.
10. Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang.
11. Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
12. Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.
13. Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada propinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala propinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
14. Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.
15. Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD.
Referensi
1. ^ UUD 1945 pasal 18 ayat 2
2. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Kedua, Pasal 11
3. ^ Kuncoro (2004), Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang, Jakarta: Penerbit Erlangga
4. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf c
5. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf e
6. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf b
7. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf f
8. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf d
9. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Kelima, Paragrap 1, Pasal 15(1) dan Pasal 16(1)
10. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Kelima, Paragrap 1, Pasal 17
11. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Kelima, Paragrap 2, Pasal 22 dan Pasal 23
12. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Ketujuh, Paragrap 2, Pasal 29
13. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Ketujuh, Paragrap 2, Pasal 30
14. ^ Kuncoro (2004), Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang, Jakarta: Penerbit Erlangga
15. ^ UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Bab III, Pasal 18(4)
Sumber
http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah_di_Indonesia

Selasa, 10 Mei 2011

Perkembangan indeks harga perdagangan besar

Berita Resmi Statistik No. 22/04/Th. XII, 1 April 2009 1
Pada bulan Februari 2009 Indeks harga grosir/agen atau Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB)
Umum naik 1,94 persen dibanding bulan sebelumnya. Kenaikan IHPB terbesar terjadi pada
barang-barang Impor sebesar 3,98 persen, utamanya minyak bumi yang memberi andil sebesar
1,26 persen. IHPB Sektor Pertanian, Pertambangan & Penggalian, Industri,dan barang Ekspor
masing-masing naik 1,43 persen; 0,50 persen; 0,78 persen; dan 3,58 persen.
Selama Februari 2009, komoditas yang harga grosirnya naik antara lain: kelapa sawit (12,95%),
beras (2,8%); barang ekspor bijih tembaga (19,31%), gas alam cair (10,66%), dan minyak bumi
(9,11%). Sedangkan yang IHPB-nya turun antara lain minyak diesel (-4,87%), solar industri
(-3,52% ) dan timah ekspor (-4,44%).
IHPB Bahan Bangunan/Konstruksi di Februari 2009 naik sebesar 0,16 persen terhadap bulan
sebelumnya, terutama disebabkan kenaikan harga grosir aspal (1,93%), cat tembok (0,60%), dan
kaca lembaran (0,23%). Namun yang mengalami penurunan harga grosir antara lain besi beton
(-2,25%), asbes gelombang (-1,27%), dan kayu lapis (-0,50%).

No. 22/04/Th. XII, 1 April 2009
PERKEMBANGAN INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR
Februari 2009 Harga Grosir naik 1,94 Persen
1. PENJELASAN
Mulai April 2009, BPS melaporkan perkembangan bulanan Indeks Harga Perdagangan Besar (HPB) atau
yang biasa dikenal sehari-hari sebagai indeks harga grosir / harga agen. Tahun 2005 digunakan sebagai
tahun dasar (2005=100). Harga Perdagangan Besar cenderung menjadi price leader Harga Konsumen
(HK) dengan gap waktu tertentu. Misalnya HPB Februari dapat digunakan sebagai indikator dini harga
konsumen bulan Maret dan seterusnya, tergantung jenis barang dan jasa. Oleh karena itu Indeks Harga
Perdagangan Besar (IHPB) disajikan menurut sektor, bahan baku, dan konstruksi.
BADAN PUSAT STATISTIK2 Berita Resmi Statistik No. 22/04/Th. XII, 1 April 2009
Harga Perdagangan Besar diperoleh dari Survei bulanan terhadap pedagang besar, pedagang perantara,
eksportir, importir, grosir, agen, dan yang sejenis di seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia.
Pedagang besar/grosir/agen membeli barang dari produsen dan kemudian menjualnya ke pedagang
eceran. Pedagang eceran selanjutnya menjual ke konsumen akhir/pemakai langsung. Jika suatu barang
dijual langsung dari produsen ke konsumen akhir, maka harga produsen=harga perdagangan besar=
harga konsumen.
Jika pembeli barang dan jasa suatu usaha adalah campuran produsen, agen, dan konsumen akhir ; maka
dilihat nilai yang terbesar. Misalnya jika sebagian besar nilai transaksi pedagang di Tanah Abang,
Jatinegara, atau Makro adalah dengan pedagang eceran, maka usaha tersebut tergolong usaha
perdagangan besar/agen/grosir. Sebaliknya jika sebagian besar transaksi pedagang di Pasar Pondok
Bambu, Pasar Baru Jakarta, Pasar Sentral Pontianak, Hero, Carrefour, dengan konsumen akhir ; maka
usaha tersebut tergolong usaha eceran (dicatat sebagai harga konsumen).
2. Perkembangan Harga Perdagangan Besar/Grosir/Agen

Secara umum, harga grosir berbagai barang pada bulan Februari 2009 menunjukkan adanya kenaikan.
Berdasarkan hasil pemantauan BPS, pada bulan Februari 2009 IHPB Umum adalah 161,07 atau naik
1,94 persen dari IHPB Januari 2009 sebesar 158,01. Persentase Perubahan IHPB tahun kalender 2009
adalah 1,56 persen.
Kenaikan persentase perubahan IHPB terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh
kenaikan indeks pada semua sektor, yaitu: Sektor Pertanian (1,43%), Pertambangan & Penggalian
(0,50%), Industri (0,78%), Barang Impor (3,98%), dan Barang Ekspor (3,58%). Beberapa komoditas yang
mengalami kenaikan harga selama bulan Februari 2009 antara lain kelapa sawit, minyak kelapa sawit,
beras; barang ekspor batubara, minyak bumi, bijih tembaga, dan gas alam cair. Sedangkan barang yang
mengalami penurunan harga antara lain minyak diesel, solar industri, barang-barang dari besi dan timah
ekspor.
Pada bulan Februari 2009 seluruh sektor memberikan andil/sumbangan pada inflasi HPB. Barang Ekspor
(0,77%) adalah penyumbang andil terbesar pada inflasi HPB bulan Februari 2009. Sedangkan untuk
Sektor Pertanian, Pertambangan & Penggalian, Industri, dan Barang Impor, memberikan andil/sumbangan
sebesar 0,18%; 0,01%; 0,33%; dan 0,65%. Minyak kelapa sawit dan barang tambang seperti minyak bumi,
bijih tembaga, gas alam cair, merupakan beberapa jenis barang yang memberikan andil/sumbangan besar
pada barang Ekspor.
IHPB Bahan Bangunan/Konstruksi yang terdiri dari 5 (lima) kelompok jenis bangunan pada bulan Februari
2009 secara umum mengalami kenaikan indeks sebesar 0,16 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
Kenaikan indeks pada kelompok bangunan adalah sebagai berikut : Kelompok Bangunan Tempat Tinggal
dan Bukan Tempat Tinggal sebesar 0,10 persen; Kelompok Bangunan Pekerjaan Umum Untuk Pertanian
sebesar 0,31 persen; Kelompok Bangunan Pekerjaan Umum untuk Jalan, Jembatan dan Pelabuhan yaitu Berita Resmi Statistik No. 22/04/Th. XII, 1 April 2009 3
sebesar 0,19 persen; Kelompok Bangunan dan Instalasi Listrik, Gas, Air Minum dan Komunikasi 0,15
persen dan Kelompok Bangunan Lainnya sebesar 0,31 persen.
Tabel 1
Perubahan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) Indonesia
dan Andil Februari 2009 menurut Sektor (2005=100)
Sektor
IHPB
Desember
2008
IHPB
Januari
2009
IHPB
Februari
2009
Perubahan
IHPB
Februari 2009
thd
Januari 2009
(%)
Andil
Inflasi
HPB
Februari
2009
Perubahan
IHPB
Februari 2009
thd
Desember
2008
(%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1 Pertanian 194,76 196,40 199,20 1,43 0,18 2,28
2 Pertambangan & Penggalian 191,14 204,69 205,72 0,50 0,01 7,63
3 Industri 163,24 161,26 162,51 0,78 0,33 -0,45
4 Impor 148,97 150,24 156,22 3,98 0,65 4,87
5 Ekspor 133,95 132,57 137,31 3,58 0,77 2,51

Umum 158,60 158,01 161,07 1,94 1,94 1,56
Umum Tanpa Ekspor 165,83 165,47 168,04 1,55 1,17 1,33
Umum Tanpa Ekspor Migas 160,40 160,20 164,71 2,82 1,51 2,69
Umum Tanpa Impor 160,62 159,64 162,09 1,53 1,29 0,92
Umum Tanpa Impor dan Ekspor Migas 162,88 162,36 164,47 1,30 0,86 0,98
Umum Tanpa Impor dan Ekspor 170,71 169,88 171,46 0,93 0,52 0,44
4 Berita Resmi Statistik No. 22/04/Th. XII, 1 April 2009
Tabel 2
Perubahan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) Bahan Bangunan/Konstruksi Indonesia
Bulan Februari 2009 menurut Kelompok Jenis Bangunan (2005=100)
Kelompok Bangunan
IHPB
Januari
2009
IHPB
Februari
2009
Perubahan
IHPB
Februari 2009
thd
Januari 2009
(%)
(1) (2) (3) (4)
Bangunan Tempat Tinggal dan Bukan
Tempat Tinggal
180,48 180,66 0,10
Bangunan Pekerjaan Umum Untuk Pertanian 193,38 193,97 0,31
Pekerjaan Umum Untuk Jalan, Jembatan &
Pelabuhan
192,43 192,80 0,19
Bangunan dan Instalasi Listrik, Gas, Air
Minum dan Komunikasi
176,13 176,40 0,15
Bangunan Lainnya 184,36 184,93 0,31
Konstruksi Indonesia 184,96 185,25 0,16
Beberapa bahan bangunan yang mengalami kenaikan harga pada bulan Februari 2009 antara lain: aspal,
cat tembok, dan kaca lembaran. Sedangkan bahan bangunan yang mengalami penurunan harga antara
lain: kayu lapis, pipa PVC, semen, asbes gelombang dan besi beton.